Kampung Malaumkarta




                                                                        
Oleh: yoab

Malaumkarta adalah sebuah kampung yang terletak di pesisir pantai utara Kabupaten Sorong, Distrik Makbon, Provinsi Papua Barat.

Sejarah panjang awal tahun 1982 hingga terbentuknya sebuah kampung yang kini diberi nama Malaumkarta. Malaumkarta memiliki arti yakni Mala (Gunung) Um (Pulau Kelelawar) Karta (Jakarta). Nama yang sengaja beri oleh pemerintahan Indonesia kalah itu pada masa erah OPM tahun 1980 di kampung Mibi, Akhirnya pada tahun 1982 melalui kesepakatan bersama antara beberapa pemudah dan tua-tua di pantai Mibi memutuskan untuk membangun kampung malaumkarta dan terlepas dari kampung Makbon Distrik Makbon. Pada tahun 1991 malaumkarta diakui secara administrasi dan terlepas dari Kampung Makbon. Dan SK kampung Malaumkarta di bawah dari kampung Swuatut menujuh Tanjung Lipla. Adapun beberapa marga yang mendiami kampung malaumkarta, yakni, Marga Kalami, Marga Dho, Marga Suu, Marga Mobalen, Marga Ulimpa, Marga Safisa, Marga Magablo.

Tahun berganti tahun erah pemerintahan mulai berubah dengan berbagi program pembukaan daerah baru (pemekaran kampung) akhirnya kampung adat Malaumkarta terbagi menjadi 5 Wilayah yang disebut Malaumkarta Raya. 5 wilayah tersebut di antaranya Kampung Malaumkarta, Kampung Suatolo, Kampung Mibi, Kampung Suatuk, dan Kampung Malagufuk.

Seiring berjalannya waktu, Kampung Malaumkarta mengalami pemekaran wilayah. Wilayah yang pertama kali mengalami pemekaran adalah Kampung Kalaluk. Ia masuk ke dalam Distrik Klaili. Kemudian pada tahun 2016 sampai 2017 terjadi pemekaran Kampung Suatolo dengan Kampung Mibi. Dari pemekaran menghasilkan enam kampung termasuk Kampung Klatomok. Ia menduduki wilayah Malagufuk. Namun, Kampung Klatomok akhirnya dipindahkan ke pinggir jalan raya trans Sorong_Tambrauw. Sehingga, Kampung Malagufuk kembali menjadi kampung yang masih disiapkan untuk dicatatkan secara administratif. 

Kampung Malaumkarta saat ini dihuni oleh beberapa marga baik dari suku Moi maupun dari suku lain berdasarkan Pekerjaan dan juga  Perkawinan . Adapun dari suku Moi sendiri terdiri dari marga Magablo, Mobalen, Su, Malasamuk, Salamala, Kalami, Dho, Ulimpa, dan Sapisa. 

Kampung Malaumkarta sendiri memiliki dua organisasi, yakni Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM) dan Ikatan Kampung Malaumkarta Raya (IKMR). PGM bergerak pada hal-hal yang bersifat teknis. Misalnya pemetaan kampung, pembangunan sumber daya manusia ke depan, dan kerja-kerja lain. PGM juga bertugas untuk menjalin relasi ke luar, seperti dengan Non-Governmental Organization (NGO) dan pemerintah. Sedangkan, IKMR pada ranah kerohanian dan merangkul anak-anak di Malaumkarta. 

Usaha dan kerja keras serta kekompakan dan kebersamaan masyarakat adat Malaumkarta akhirnya membuat suatu batasan dalam sistem pengelolaan sumber daya laut maupun darat yang sebut dengan EGEK (sasi). Egek (sasi) bertujuan agar sumber daya laut maupun darat tetap terjaga dan terlestari dengan baik.

Egek (sasi) laut menjadi cara yang dipilih untuk menjaga kelestarian alam dan juga habitat laut. Egek (sasi) sendiri adalah larangan mengambil sumber daya alam tertentu karena untuk menjaga mutu dan populasi sumber daya alam tersebut. Larangan ini dilakukan pada periode tertentu. Sasi atau Egek memiliki landasan hukum dalam Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Di kampung Malaumkarta sendiri, hasil laut yang di sasi meliputi udang, teripang, ikan dugong (ikan duyung), dan bia lola. 

Egek (Sasi) dilakukan berdasarkan keputusan sidang jemaat. Dan masa Egek (sasi) dibuka ditentukan pula dari sidang jemaat. Egek (sasi) dibuka dengan doa bersama di gereja dan dilanjutkan dengan  ritual adat bersama di pantai Malaumkarta. Hasil tangkapan diserahkan seluruhnya ke gereja demi kebutuhan bersama. Namun, jika ada kebutuhan mendesak dari masing-masing individu, hasil tangkapan dapat diambil sebagian besar diserahkan ke gereja dan sisanya untuk pribadi.

Sasi laut tidak hanya menyasar pada tangkapan laut melainkan juga alat-alat yang digunakan. Misalnya jaring, bom, alat peledak lainnya, dan obat-obatan juga dilarang keras digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dikarenakan jaring akan menangkap seluruh ikan termasuk yang masih kecil. Selain itu, alat-alat tersebut yang dilarang memiliki potensi merusak ekosistem laut. Oleh karena itu, para nelayan di kampung Malaumkarta menangkap ikan dengan panah/senapan dan pancing.

Masyarakat Malaumkarta juga berkomitmen untuk melestarikan lingkungan baik di laut maupun darat. Di laut, mereka melakukan konservasi terhadap penyu yang sedang bertelur. Sedangkan di darat—hutan—mereka melakukan pelarangan penggunaan senapan dan perburuan hewan liar secara sembarangan yang dinilai dapat merusak hewan dan habitat lainnya. 

Adapun kegiatan yang dilakukan PGM yakni melindungi dan menjaga kelestarian Penyu. Ketika Penyu mulai naik ke daratan untuk bertelur maka masyarakat Malaumkarta akan bahu membahu mengamankan telur-telur tersebut. Caranya dengan menelusuri jejak penyu kemudian diambil telurnya untuk diamankan dari predator maupun pencurian oleh manusia yang diam-diam mengambil telur dan atau daging penyu. Selang sebulan atau kira-kira telur sudah menetas, bayi penyu akan dipindahkan ke bak. 

Jika bayi penyu telah lebih siap secara fisik maka akan dilepas ke laut. "Bayi penyu akan dilepas agak jauh dari bibir pantai agar bisa berjalan merayap menuju laut. Hal ini bertujuan agar ketika kelak besar bisa mengingat bekas kakinya di pantai tempatnya menetas. Harapannya kelak akan kembali untuk bertelur di tempat yang sama.








       ________✍🏻 Z PUH JEJAK✍🏻_________



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SBAGA NEGERI CEMARA